Salam
Matemasiswa!
Ketemu
lagi nih ama mimin. Baidewei, ini postingan perdana di bulan September ini...
Oya, kali ini
mimin gak nge-bahas materi matematika dulu, tapi mimin akan #ShareCerita cerpen
buatan mimin nih...
Jadi,
ceritanya mimin iseng-iseng buka situs ini, terus tertarik deh untuk ngikutin
lombanya. Gini-gini mimin juga bisa sastra lhoo... Hehehehehehe...
Yuuuk
dibaca dan dikomentari karya sederhana ini...
“Yah, ayah, belikan
Rafa boneka ayam merah dong, yah”
Terdengar sayup-sayup
suara anakku memanggilku. Rafa, bocah kecil darah dagingku yang masih berusia
tiga tahun lima bulan. Ia meminta kepadaku untuk dibelikan sebuah boneka. Aku
tahu maksudnya, bukan itu sebenarnya. Saat melihatku sedang memasukkan sebuah
uang logam di kaleng susu bekas beberapa saat yang lalu, dengan penasaarannya,
Rafa memperhatikan segala perilakuku yang dirasa sangat aneh olehnya.
“Ayah lagi ngapain?”
“Ayah sedang memasukkan
uang logam ke dalam kaleng bekas ini, Nak”
“Kenapa uangnya
dimasukkan kesitu? ‘kan bisa buat beli permen, Yah”
“Ini uangnya sedang
ditabung, Nak. Disimpan baik-baik, sayang”
“Kenapa uang harus
disimpan?”
“Biar Rafa saat besar
nanti bisa hidup bahagia. Rafa mau kan hidup bahagia?”
“Mauuuu dong, Yah. Rafa
mau seperti ayah”
“Kalau Rafa mau seperti
ayah juga, coba uang yang Rafa pegang ditabung juga. Bisa?”
“Bisa dong, Rafa mau
nabung yang banyak pokoknya”
“Hehehe, yaudah, ntar
malem ayah belikan celengan ayam buat Rafa yaa”
“Apa, Yah? Celengan?”
Rafa sedikit bingung.
“Iyaaa, celengan.
Yaudah, ntar aja ayah jelasin. Yuuk kita main di luar”.
Aku pun beranjak
menggendong Rafa dan memasukkan kaleng susu bekasku ke bawah ranjang, seperti
biasanya. Entah mengapa cara ini yang kuanggap sangat aman dan telah menjadi
budaya keluarga.
Aku tahu maksudnya. Sebuah
boneka ayam merah yang dimaksud Rafa. Celengan, itu maksudnya. Rafa belum dapat
mengingat sebuah kata “celengan”. Ia hanya tahu ayam merah. Siang itu, ia juga masih
menyimpan rasa penasarannya.
Malam ini, aku bersama Rafa
dan Vivi istriku sedang mengunjungi sebuah pasar malam di daerah kabupaten
Malang. Suasananya sangat sejuk, khas sekali. Aku dan Vivi saling menggandeng
tangan mungil Rafa. Kami pun berkeliling melihat-lihat, mengunjungi berbagai stand yang unik, membeli beberapa
makanan, dan sesekali mencoba wahana hiburan yang ada.
Tak berlama-lama
menghabiskan waktu di pasar malam, aku pun mengajak Rafa dan Vivi untuk menuju
suatu tempat yang menjual beberapa jam tangan, jam dinding, kipas angin,
senter, dan perlengkapan rumah tangga lainnya, serta tak ketinggalan dijual
pula berbagai macam jenis celengan. Rafa pun sontak bereaksi kegirangan melihat
benda berbentuk ayam jago berwarna merah.
“Ayah, aku mau yang
itu”
Rafa menunjuk sebuah
celengan ayam berwarna merah yang sangat diinginkannya. Bentuknya sangat kecil,
sangat pas untuk anak seukuran dia yang ingin belajar menabung. Ia pun
mengambil celengan yang ditunjuknya. Ia hanya ingin celengan ayam itu, tak mau
yang lain. Dipeluklah celengan ayam itu dengan erat. Tak ingin dia
melepaskannya.
Melihat tingkah Rafa,
aku pun teringat masa kecilku dulu yang sangat mirip dengannya. Saat pertama
kali hendak dibelikan celengan untuk mulai menabung sejak umur 5 tahun, aku
juga memilih celengan ayam merah. Dengan spontan, aku memilihnya. Entah mengapa
tak kupilih celengan monyet, babi, beruang, atau bentuk lainnya. Mirip sekali
dengan Rafa anakku. Bedanya, saat itu aku dibelikan oleh ibuku, bukan ayahku.
Aku heran, mengapa hal ini terjadi pula pada anakku? De javu kah?
Aku hanya sedikit
menyengir sambil memandangi istriku yang mulai membantuku untuk menawar harga
dengan pedagang tersebut.
Sejak kecil, aku sudah
diajarkan untuk menabung. Aku sangat senang menabung. Bahkan, semua uang
jajanku kumasukkan ke dalam celengan ayam baruku. Tiada bersisa. Aku rela untuk
tidak jajan saat itu. Aku hanya meminta kepada ibuku untuk dibawakan bekal ke
sekolah. Aku sangat bersemangat sekali menabung. Aku ingin menjadi orang kaya,
pikirku saat itu.
Namun, semangatku tidak
berlangsung begitu lama. Tanpa sepengetahuan ibuku, celenganku kubongkar saat
aku masih di bangku kelas 4 SD. Saat itu, aku tak mampu menahan hasratku untuk
membeli mobil tamiya dan mengikuti perlombaannya. Teman sekelas yang
membujukku. Yaa, saat itu, sedang musim-musimnya anak seumuranku memiliki mobil
tamiya dan memodifikasinya agar melaju dengan sangat kencang, dan itu butuh
biaya yang tidak sedikit.
Aku menyesal tak dapat
menabung lagi. Hingga aku pun tersadar saat duduk di bangku SMP, dimana
keluargaku sedang dililit banyak hutang. Aku tak banyak tahu masalahnya, namun
kudengar cerita dari ibuku bahwa ayahku ditipu oleh rekan kerjanya. Sedih
pastinya. Tak bisa melawan, akhirnya keluargaku dengan berat hati menjual
motor, televisi, beberapa emas dan perhiasan, serta tabungan ibuku pun ikut
untuk membayar hutang-hutang tersebut. Aku sangat menyesal sekali tak dapat
berbuat apa-apa saat itu. Aku terpukul. Meski aku masih duduk di bangku SMP,
namun aku juga merasakan sakit yang diderita keluargaku.
Aku tahu uang
tabunganku tak mungkin cukup untuk menutupi hutang-hutang ayahku. Namun, jika
aku konsisten dan lebih banyak uang yang kutabung, setidaknya aku bisa membantu
ayah dan ibuku. Ingin rasanya kuusap tangis ayah dan ibuku saat itu. Ingin pula
kutunjukkan hasil tabunganku yang sangat banyak untuk membantunya. Ingin pula
kujejali seluruh tabunganku di mulut para penagih hutang yang sangat kejam pada
keluargaku. Ingin pula kupaksa mereka menelan celengan ayam merahku sampai mati.
Aku sangat geram dengan mereka.
Yaa, sejak saat itulah
ibuku menyadarkanku untuk giat menabung kembali. Ayah dan ibuku juga sangat
tabah. Mereka pun bertekad untuk mulai menabung dari nol lagi. Melihat semangat
mereka, aku pun ikut untuk menabung kembali.
Tidak seperti saat
berusia 5 tahun dulu, aku tidak merengek untuk dibelikan celengan ayam lagi. Bukan
karena celengan tersebut kujejali kepada para penagih hutang yang kejam itu,
bukan! Celengan tersebut masih kusimpan, hanya saja kini aku gunakan celengan
sederhana buatanku sendiri. Aku membuatnya dari sebuah kaleng susu bekas yang
ada di dapur. Kubersihkan kaleng tersebut, kuhias dengan bungkus kado yang
menarik, dan mulailah hari itu aku menabung kembali.
Setiap hari, kusisihkan
Rp500,00. Jika aku tidak banyak jajan di sekolah, terkadang pula aku
menyisihkan lebih banyak dari itu, Rp1.500,00 atau bahkan hingga Rp5.000,00.
Aku tak tahu sudah
berapa banyak uang yang telah kutabung. Sejak menikah dengan Vivi, aku mulai
menabung lagi dengan celengan baruku. Sama seperti sebelum aku menikah, aku
menggunakan celengan dari kaleng susu bekas. Vivi terkadang terpingkal-pingkal
ketika melihatku menabung dengan celengan kaleng bekas. Menurutnya, aku sangat
lucu menabung dengan cara seperti itu. Meski begitu, Vivi juga mendukungku. Ia
pun kuajak pula untuk menabung. Sebagai seorang istri, tentu ia harus dibimbing
agar mampu me-manage keuangan dengan
sangat baik.
Bagiku, budaya menabung
perlu diterapkan secara turun temurun dan disebarkan kepada siapa saja. Aku pun
bisa menabung seperti ini juga karena orang tuaku. Pun demikian dengan orang
tuaku yang diajari oleh kakek dan nenekku, serta keluargaku sebelum-sebelumnya.
Harus membudaya!
“Ah iya, bagaimana
kalau kita mengunjungi rumahku?” pikirku dalam hati.
Sudah lama aku tak
mengunjungi ayah dan ibuku yang kini sedang menikmati masa tua mereka dengan
damai.
“Sayang, kita ke rumah
ortuku yuuk” ajakku dalam bisikan pada istriku.
“Gak terlalu malam nih,
Yang?”
“Masih jam setengah sembilan,
Cantik. Gak papa” godaku padanya.
Aku pun bersama Vivi
segera menuju rumah orang tuaku. Baru saja jam 8.30, Rafa sudah tertidur pulas
di pelukan Vivi. Lucu sekali wajahnya. Ia pun tertidur sambil memegang celengan
ayam barunya.
Dengan segera,
kulajukan mobilku menuju rumah orang tuaku yang tak begitu jauh dari pasar
malam. Entah mengapa aku rindu padanya. Bagaimana keadaan mereka sekarang? Lama
aku tak mengunjunginya, terakhir dua bulan yang lalu.
Aku juga rindu tidur di
kamarku. Kamar yang selalu penuh dengan kenangan. Kamar tempatku beristirahat
dan menyimpan celengan ayam dan celengan kaleng susu bekas sejak SMP hingga
kuliah dulu. Yaa, ingat betul aku tinggalkan celenganku di bawah ranjang. Entah
apa yang terjadi sekarang, ingin sekali ku memeriksanya.
Kuberhentikan mobilku
di pinggir jalan samping rumahku. Kuturunkan kaca mobilku. Kulihat dari
jejauhan ayahku sedang meminum teh hangat di teras, sedang ibuku asyik
berbincang dengan tetangga sebelah.
“Assalamu’alaikum…
Buuu, Paaak” aku dan Vivi berteriak sambil menghampiri mereka.
“Wa’alaikum salam. Eh Wahyu,
Vivi ama Rafa” ibuku menyambut dengan gembira disertai rasa kaget.
“Rafa sampai tertidur
gini, dari mana aja kalian, Yu?” ayah pun menghampiriku sambil mengelus kepala
Rafa.
“Tadi abis dari pasar
malam. Ini pengen aja pulang kesini. Kangen, Yah”
“Yaudah, malam ini
tidur disini aja” ayah pun menyuruh kami untuk menginap.
“Ayo, Yu. Masuk.. Nak
Vivi ayoo segera istirahat, kasian Rafa itu” ibu pun mempersilahkan istriku
untuk masuk.
Aku mengantar Vivi
menuju kamarku. Ditidurkanlah Rafa di kasur empukku yang tak pernah berubah
hingga aku berkeluarga seperti ini. Aku merebahkan diri di sebelah Rafa. Ingin
pula rasanya aku ditidurkan oleh istriku tersayang saat ini juga. Vivi pun
menaruh beberapa barang di meja belajarku. Melihat aku yang sedang rebahan,
Vivi mengajakku keluar dari kamar.
“Sayang, ayoo keluar
sebentar. Kita ngobrol dulu sama ayah dan ibu”
“Iyaa, sekalian kita
makan terang bulan tadi yaa. Laper nih” aku mulai memegangi perutku yang sedari
tadi minta diisi.
Di saat sedang
berkumpul bersama ayah dan ibu, kami bercerita panjang-lebar. Vivi pun juga tak
kalah cakap denganku. Sambil menikmati terang bulan dan teh hangat, ayah dan
ibuku menanyai tentang pekerjaanku, pekerjaan Vivi, perkembangan Rafa, hingga
rencana untuk memiliki momongan baru. Ada-ada saja pembahasan malam ini.
Suasana pun semakin
hangat tatkala kami bercerita tentang masa lalu saat-saat menabung dulu. Ibu
bercerita bagaiamana awalnya ia mulai menabung saat remaja dulu. Ia juga
bercerita tentang aku yang gemar menabung, ayah pun sedikit menambahkan. Vivi
mendengarkan dengan seksama, meski ia sudah tahu cerita tersebut dari mulutku.
Aku pun tak mau kalah
untuk bercerita. Ku mulailah dengan sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja mengheningkan
suasana.
“Bu, celengan kaleng
bekasku masih ada gak?”
Ibu pun terdiam. Ia
hanya memandangi ayahku. Ayahku pun seolah mengisyaratkan jawaban kepadanya,
semacam bahasa batin mereka. Tanpa sepatah kata pun, ibu menggandeng tanganku
dan Vivi menuju ke suatu tempat.
Ibu menggiring kami ke kamarnya.
“Wahyu, Vivi..
Tabunganmu selalu ibu simpan. Ini masih utuh”
Ibuku menyerahkan
celengan kaleng susu bekas milikku. Memang sedikit berdebu, namun tetap
kuterima. Celenganku, aku rindu sekali. Kubersihkanlah celengan tersebut.
Kubuka tutup kalengnya, dan kukeluarkan uangnya.
Saat mengeluarkan
isinya, aku pun sempat terkejut.
“Bu, kok isinya duit
lima puluh ribuan?”
“Iyaa, uang receh yang
kamu tabung dulu udah ibu tukarkan. Itulah uangmu sekarang, Nak”
“Segini, Bu?” aku
terkejut, masih tak mempercayainya.
Ibuku mengulangi
ceritanya. Seolah menegaskan, ia pun memberi tahu Vivi, “Vi, sejak dulu Wahyu
memang suka menabung. Dan itulah hasil jerih payahnya menabung sejak SMP hingga
sebelum menikahimu”
Ibuku pun merangkul
Vivi yang ikut terkejut di hadapanku.
“Masa’ iya aku nabung
sampai 6 juta gini, Bu?”
“Iyaa, Nak. Sekarang
kamu percaya kan dengan prinsip menabung?”
Aku pun menyebut
prinsip menabung yang pernah diajarkan oleh ibuku dulu, “sedikit demi sedikit
lama-lama jadi bukit.. Iyaa, ibu bener”
Aku bahagia malam ini
bisa berkumpul bersama ayah dan ibuku, serta Vivi dan anakku. Kebahagiaanku pun
semakin bertambah di saat tabunganku masih utuh dan disimpan sangat baik oleh
ibuku yang sangat kusayangi. Kini aku semakin percaya, menabung itu sangatlah
hebat. Dengan tekad yang kuat, budaya menabung ini akan selalu kutularkan pada
anak dan cucuku kelak. Aku berjanji..!
“Bu, makasi banget atas
apa yang telah ibu berikan padaku”
Malam ini, kupeluk erat
ibuku. Vivi yang tak banyak berkomentar pun ikut dipeluk oleh ibu. Kami
bahagia. Generasi Menabung haruslah tercipta.
Gimana? Ceritanya bagus gak? Do'ain mimin menang yaah... Kan lumayan hadiahnya bisa ditabung buat biaya nikah, hehehehehe.....
Selamat berkreasi...
SalamMatemasiswa,
Mimin kece
Tidak ada komentar:
Posting Komentar