Rabu, 10 September 2014

Generasi Menabung

Salam Matemasiswa!
Ketemu lagi nih ama mimin. Baidewei, ini postingan perdana di bulan September ini...
Oya, kali ini mimin gak nge-bahas materi matematika dulu, tapi mimin akan #ShareCerita cerpen buatan mimin nih...

Jadi, ceritanya mimin iseng-iseng buka situs ini, terus tertarik deh untuk ngikutin lombanya. Gini-gini mimin juga bisa sastra lhoo... Hehehehehehe...
Yuuuk dibaca dan dikomentari karya sederhana ini...
 



 
“Yah, ayah, belikan Rafa boneka ayam merah dong, yah”
Terdengar sayup-sayup suara anakku memanggilku. Rafa, bocah kecil darah dagingku yang masih berusia tiga tahun lima bulan. Ia meminta kepadaku untuk dibelikan sebuah boneka. Aku tahu maksudnya, bukan itu sebenarnya. Saat melihatku sedang memasukkan sebuah uang logam di kaleng susu bekas beberapa saat yang lalu, dengan penasaarannya, Rafa memperhatikan segala perilakuku yang dirasa sangat aneh olehnya.
“Ayah lagi ngapain?”
“Ayah sedang memasukkan uang logam ke dalam kaleng bekas ini, Nak”
“Kenapa uangnya dimasukkan kesitu? ‘kan bisa buat beli permen, Yah”
“Ini uangnya sedang ditabung, Nak. Disimpan baik-baik, sayang”
“Kenapa uang harus disimpan?”
“Biar Rafa saat besar nanti bisa hidup bahagia. Rafa mau kan hidup bahagia?”
“Mauuuu dong, Yah. Rafa mau seperti ayah”
“Kalau Rafa mau seperti ayah juga, coba uang yang Rafa pegang ditabung juga. Bisa?”
“Bisa dong, Rafa mau nabung yang banyak pokoknya”
“Hehehe, yaudah, ntar malem ayah belikan celengan ayam buat Rafa yaa”
“Apa, Yah? Celengan?” Rafa sedikit bingung.
“Iyaaa, celengan. Yaudah, ntar aja ayah jelasin. Yuuk kita main di luar”.

Aku pun beranjak menggendong Rafa dan memasukkan kaleng susu bekasku ke bawah ranjang, seperti biasanya. Entah mengapa cara ini yang kuanggap sangat aman dan telah menjadi budaya keluarga.
Aku tahu maksudnya. Sebuah boneka ayam merah yang dimaksud Rafa. Celengan, itu maksudnya. Rafa belum dapat mengingat sebuah kata “celengan”. Ia hanya tahu ayam merah. Siang itu, ia juga masih menyimpan rasa penasarannya.
Malam ini, aku bersama Rafa dan Vivi istriku sedang mengunjungi sebuah pasar malam di daerah kabupaten Malang. Suasananya sangat sejuk, khas sekali. Aku dan Vivi saling menggandeng tangan mungil Rafa. Kami pun berkeliling melihat-lihat, mengunjungi berbagai stand yang unik, membeli beberapa makanan, dan sesekali mencoba wahana hiburan yang ada.
Tak berlama-lama menghabiskan waktu di pasar malam, aku pun mengajak Rafa dan Vivi untuk menuju suatu tempat yang menjual beberapa jam tangan, jam dinding, kipas angin, senter, dan perlengkapan rumah tangga lainnya, serta tak ketinggalan dijual pula berbagai macam jenis celengan. Rafa pun sontak bereaksi kegirangan melihat benda berbentuk ayam jago berwarna merah.
“Ayah, aku mau yang itu”
Rafa menunjuk sebuah celengan ayam berwarna merah yang sangat diinginkannya. Bentuknya sangat kecil, sangat pas untuk anak seukuran dia yang ingin belajar menabung. Ia pun mengambil celengan yang ditunjuknya. Ia hanya ingin celengan ayam itu, tak mau yang lain. Dipeluklah celengan ayam itu dengan erat. Tak ingin dia melepaskannya.
Melihat tingkah Rafa, aku pun teringat masa kecilku dulu yang sangat mirip dengannya. Saat pertama kali hendak dibelikan celengan untuk mulai menabung sejak umur 5 tahun, aku juga memilih celengan ayam merah. Dengan spontan, aku memilihnya. Entah mengapa tak kupilih celengan monyet, babi, beruang, atau bentuk lainnya. Mirip sekali dengan Rafa anakku. Bedanya, saat itu aku dibelikan oleh ibuku, bukan ayahku. Aku heran, mengapa hal ini terjadi pula pada anakku? De javu kah?
Aku hanya sedikit menyengir sambil memandangi istriku yang mulai membantuku untuk menawar harga dengan pedagang tersebut.
Sejak kecil, aku sudah diajarkan untuk menabung. Aku sangat senang menabung. Bahkan, semua uang jajanku kumasukkan ke dalam celengan ayam baruku. Tiada bersisa. Aku rela untuk tidak jajan saat itu. Aku hanya meminta kepada ibuku untuk dibawakan bekal ke sekolah. Aku sangat bersemangat sekali menabung. Aku ingin menjadi orang kaya, pikirku saat itu.
Namun, semangatku tidak berlangsung begitu lama. Tanpa sepengetahuan ibuku, celenganku kubongkar saat aku masih di bangku kelas 4 SD. Saat itu, aku tak mampu menahan hasratku untuk membeli mobil tamiya dan mengikuti perlombaannya. Teman sekelas yang membujukku. Yaa, saat itu, sedang musim-musimnya anak seumuranku memiliki mobil tamiya dan memodifikasinya agar melaju dengan sangat kencang, dan itu butuh biaya yang tidak sedikit.
Aku menyesal tak dapat menabung lagi. Hingga aku pun tersadar saat duduk di bangku SMP, dimana keluargaku sedang dililit banyak hutang. Aku tak banyak tahu masalahnya, namun kudengar cerita dari ibuku bahwa ayahku ditipu oleh rekan kerjanya. Sedih pastinya. Tak bisa melawan, akhirnya keluargaku dengan berat hati menjual motor, televisi, beberapa emas dan perhiasan, serta tabungan ibuku pun ikut untuk membayar hutang-hutang tersebut. Aku sangat menyesal sekali tak dapat berbuat apa-apa saat itu. Aku terpukul. Meski aku masih duduk di bangku SMP, namun aku juga merasakan sakit yang diderita keluargaku.
Aku tahu uang tabunganku tak mungkin cukup untuk menutupi hutang-hutang ayahku. Namun, jika aku konsisten dan lebih banyak uang yang kutabung, setidaknya aku bisa membantu ayah dan ibuku. Ingin rasanya kuusap tangis ayah dan ibuku saat itu. Ingin pula kutunjukkan hasil tabunganku yang sangat banyak untuk membantunya. Ingin pula kujejali seluruh tabunganku di mulut para penagih hutang yang sangat kejam pada keluargaku. Ingin pula kupaksa mereka menelan celengan ayam merahku sampai mati. Aku sangat geram dengan mereka.
Yaa, sejak saat itulah ibuku menyadarkanku untuk giat menabung kembali. Ayah dan ibuku juga sangat tabah. Mereka pun bertekad untuk mulai menabung dari nol lagi. Melihat semangat mereka, aku pun ikut untuk menabung kembali.
Tidak seperti saat berusia 5 tahun dulu, aku tidak merengek untuk dibelikan celengan ayam lagi. Bukan karena celengan tersebut kujejali kepada para penagih hutang yang kejam itu, bukan! Celengan tersebut masih kusimpan, hanya saja kini aku gunakan celengan sederhana buatanku sendiri. Aku membuatnya dari sebuah kaleng susu bekas yang ada di dapur. Kubersihkan kaleng tersebut, kuhias dengan bungkus kado yang menarik, dan mulailah hari itu aku menabung kembali.
Setiap hari, kusisihkan Rp500,00. Jika aku tidak banyak jajan di sekolah, terkadang pula aku menyisihkan lebih banyak dari itu, Rp1.500,00 atau bahkan hingga Rp5.000,00.
Aku tak tahu sudah berapa banyak uang yang telah kutabung. Sejak menikah dengan Vivi, aku mulai menabung lagi dengan celengan baruku. Sama seperti sebelum aku menikah, aku menggunakan celengan dari kaleng susu bekas. Vivi terkadang terpingkal-pingkal ketika melihatku menabung dengan celengan kaleng bekas. Menurutnya, aku sangat lucu menabung dengan cara seperti itu. Meski begitu, Vivi juga mendukungku. Ia pun kuajak pula untuk menabung. Sebagai seorang istri, tentu ia harus dibimbing agar mampu me-manage keuangan dengan sangat baik.
Bagiku, budaya menabung perlu diterapkan secara turun temurun dan disebarkan kepada siapa saja. Aku pun bisa menabung seperti ini juga karena orang tuaku. Pun demikian dengan orang tuaku yang diajari oleh kakek dan nenekku, serta keluargaku sebelum-sebelumnya. Harus membudaya!
“Ah iya, bagaimana kalau kita mengunjungi rumahku?” pikirku dalam hati.
Sudah lama aku tak mengunjungi ayah dan ibuku yang kini sedang menikmati masa tua mereka dengan damai.
“Sayang, kita ke rumah ortuku yuuk” ajakku dalam bisikan pada istriku.
“Gak terlalu malam nih, Yang?”
“Masih jam setengah sembilan, Cantik. Gak papa” godaku padanya.
Aku pun bersama Vivi segera menuju rumah orang tuaku. Baru saja jam 8.30, Rafa sudah tertidur pulas di pelukan Vivi. Lucu sekali wajahnya. Ia pun tertidur sambil memegang celengan ayam barunya.
Dengan segera, kulajukan mobilku menuju rumah orang tuaku yang tak begitu jauh dari pasar malam. Entah mengapa aku rindu padanya. Bagaimana keadaan mereka sekarang? Lama aku tak mengunjunginya, terakhir dua bulan yang lalu.
Aku juga rindu tidur di kamarku. Kamar yang selalu penuh dengan kenangan. Kamar tempatku beristirahat dan menyimpan celengan ayam dan celengan kaleng susu bekas sejak SMP hingga kuliah dulu. Yaa, ingat betul aku tinggalkan celenganku di bawah ranjang. Entah apa yang terjadi sekarang, ingin sekali ku memeriksanya.
Kuberhentikan mobilku di pinggir jalan samping rumahku. Kuturunkan kaca mobilku. Kulihat dari jejauhan ayahku sedang meminum teh hangat di teras, sedang ibuku asyik berbincang dengan tetangga sebelah.
“Assalamu’alaikum… Buuu, Paaak” aku dan Vivi berteriak sambil menghampiri mereka.
“Wa’alaikum salam. Eh Wahyu, Vivi ama Rafa” ibuku menyambut dengan gembira disertai rasa kaget.
“Rafa sampai tertidur gini, dari mana aja kalian, Yu?” ayah pun menghampiriku sambil mengelus kepala Rafa.
“Tadi abis dari pasar malam. Ini pengen aja pulang kesini. Kangen, Yah”
“Yaudah, malam ini tidur disini aja” ayah pun menyuruh kami untuk menginap.
“Ayo, Yu. Masuk.. Nak Vivi ayoo segera istirahat, kasian Rafa itu” ibu pun mempersilahkan istriku untuk masuk.
Aku mengantar Vivi menuju kamarku. Ditidurkanlah Rafa di kasur empukku yang tak pernah berubah hingga aku berkeluarga seperti ini. Aku merebahkan diri di sebelah Rafa. Ingin pula rasanya aku ditidurkan oleh istriku tersayang saat ini juga. Vivi pun menaruh beberapa barang di meja belajarku. Melihat aku yang sedang rebahan, Vivi mengajakku keluar dari kamar.
“Sayang, ayoo keluar sebentar. Kita ngobrol dulu sama ayah dan ibu”
“Iyaa, sekalian kita makan terang bulan tadi yaa. Laper nih” aku mulai memegangi perutku yang sedari tadi minta diisi.
Di saat sedang berkumpul bersama ayah dan ibu, kami bercerita panjang-lebar. Vivi pun juga tak kalah cakap denganku. Sambil menikmati terang bulan dan teh hangat, ayah dan ibuku menanyai tentang pekerjaanku, pekerjaan Vivi, perkembangan Rafa, hingga rencana untuk memiliki momongan baru. Ada-ada saja pembahasan malam ini.
Suasana pun semakin hangat tatkala kami bercerita tentang masa lalu saat-saat menabung dulu. Ibu bercerita bagaiamana awalnya ia mulai menabung saat remaja dulu. Ia juga bercerita tentang aku yang gemar menabung, ayah pun sedikit menambahkan. Vivi mendengarkan dengan seksama, meski ia sudah tahu cerita tersebut dari mulutku.
Aku pun tak mau kalah untuk bercerita. Ku mulailah dengan sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja mengheningkan suasana.
“Bu, celengan kaleng bekasku masih ada gak?”
Ibu pun terdiam. Ia hanya memandangi ayahku. Ayahku pun seolah mengisyaratkan jawaban kepadanya, semacam bahasa batin mereka. Tanpa sepatah kata pun, ibu menggandeng tanganku dan Vivi menuju ke suatu tempat.
          Ibu menggiring kami ke kamarnya.
“Wahyu, Vivi.. Tabunganmu selalu ibu simpan. Ini masih utuh”
Ibuku menyerahkan celengan kaleng susu bekas milikku. Memang sedikit berdebu, namun tetap kuterima. Celenganku, aku rindu sekali. Kubersihkanlah celengan tersebut. Kubuka tutup kalengnya, dan kukeluarkan uangnya.
Saat mengeluarkan isinya, aku pun sempat terkejut.
“Bu, kok isinya duit lima puluh ribuan?”
“Iyaa, uang receh yang kamu tabung dulu udah ibu tukarkan. Itulah uangmu sekarang, Nak”
“Segini, Bu?” aku terkejut, masih tak mempercayainya.
Ibuku mengulangi ceritanya. Seolah menegaskan, ia pun memberi tahu Vivi, “Vi, sejak dulu Wahyu memang suka menabung. Dan itulah hasil jerih payahnya menabung sejak SMP hingga sebelum menikahimu”
Ibuku pun merangkul Vivi yang ikut terkejut di hadapanku.
“Masa’ iya aku nabung sampai 6 juta gini, Bu?”
“Iyaa, Nak. Sekarang kamu percaya kan dengan prinsip menabung?”
Aku pun menyebut prinsip menabung yang pernah diajarkan oleh ibuku dulu, “sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.. Iyaa, ibu bener”
Aku bahagia malam ini bisa berkumpul bersama ayah dan ibuku, serta Vivi dan anakku. Kebahagiaanku pun semakin bertambah di saat tabunganku masih utuh dan disimpan sangat baik oleh ibuku yang sangat kusayangi. Kini aku semakin percaya, menabung itu sangatlah hebat. Dengan tekad yang kuat, budaya menabung ini akan selalu kutularkan pada anak dan cucuku kelak. Aku berjanji..!
“Bu, makasi banget atas apa yang telah ibu berikan padaku”
Malam ini, kupeluk erat ibuku. Vivi yang tak banyak berkomentar pun ikut dipeluk oleh ibu. Kami bahagia. Generasi Menabung haruslah tercipta.  



Gimana? Ceritanya bagus gak? Do'ain mimin menang yaah... Kan lumayan hadiahnya bisa ditabung buat biaya nikah, hehehehehe.....
Selamat berkreasi...

SalamMatemasiswa,
Mimin kece

Tidak ada komentar:

Posting Komentar